Padapuisi "Sajak Sebatang Lisong" karya WS Rendra yang sudah dikenal oleh banyak mahasiswa, pelajar dan sastrawan ini memiliki daya tarik tersendiri untuk di analisis karena puisi ini menggunakan diksi yang tepat. Pilihan kata yang digunakan ws rendra untuk menggambarkan suasana hatinya cukup menarik dan dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh Rahmat Mustakim[1] SAJAK SEBATANG LISONG[2] OLEH RENDRA Menghisap sebatang lisong melihat Indonesia Raya mendengar 130 juta rakyat dan di langit dua tiga cukong mengangkang berak di atas kepala mereka Matahari terbit fajar tiba dan aku melihat delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan Aku bertanya tetapi pertanyaan-pertanyaanku membentur meja kekuasaan yang mecet dan papantulis-papantulis para pendidik yang terlepas dari persoalan kehidupan Delapan juta kanak-kanak menghadapi satu jalan panjang tanpa pilihan tanpa pepohonan tanpa dangau persinggahan tanpa ada bayangan ujungnya Menghisap udara yang disemprot dedorant aku melihat sarjana-sarjana menganggur berpeluh di jalan raya aku melihat wanita-wanita bunting antri uang pensiunan Dan di langit para teknokrat berkata Bahwa bangsa kita adalah malas bahwa bangsa mesti dibangun mesti diup-grade disesuaikan dengan teknologi yang diimpor Gunung-gunung menjulang langit pesta warna di dalam senja kala dan aku melihat protes yang terpendam terhimpit di bawah tilam Aku bertanya tetapi pertanyaanku membentur jidat penyair-penyair salon yang bersajak tentang anggur dan rembulan sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan termangu-mangu di kaki dewi kesenian Bunga-bunga bangsa tahun depan berkunang-kunang pandang matanya berjuta-juta harapan ibu dan bapak menjadi gebalau suara yang kacau menjadi karang di bawah muka samudra Kita mesti berhenti membeli rumus-rumus asing diktat-diktat hanya boleh memberi metode tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan kita mesti keluar ke jalan raya keluar ke desa-desa mencatat sendiri semua gejala dan menghayati persoalan yang nyata Inilah sajakku pamflet masa darurat apakah artinya kesenian bila terpisah dari derita lingkungan apakah artinya berpikir bila terpisah dari masalah kehidupan Kepadamu aku bertanya Agustus, 1978 I PROLOG. Kita mengenal kepenyairan Rendra mengerikan, mencekam. Keras. Sajaknya kebanyakan terlihat selalu memprotes apa yang meresahkan kita. Setidaknya, membenarkan apa yang salah. Tentang ketidakadilan, kesemena-menaan yang berteriak dalam sajak. Menjijikkan itu! Meski sebelumnya, kau mengelak dari sana menulis tentang anggur dan rembulan. Dan sajakmu telah bersungguh-sungguh bermetamorfosis. Bersyukurlah karena Negeri Paman Sam mendidikmu. Ah, Rendra, melantanglah lagi kepada yang belum bersetubuh dengan Blues Untuk Bonnie. Buat apa kau teriak-teriak bodoh, berdemonstrasi tersirat yang konyol; kalau kumpulan sajak liarmu masih sedemikian bertumpuk. Bodohlah mereka yang kau catat. Ah, bukan. Bodohlah mereka yang apatis terhadap beragam persoalan di Negerinya. Rendra, kau sastrawan yang baik, dan lengkap berpuisi sekaligus mempuisikan. Meski diksi puisimu konvensional, tak menyuling kata terlalu puitis. Tapi totalitas bertutur tentang protes sosial yang mendalam, yang berisik didengar. Lebih dari sekedar mengancam biar tuli sekalian. Rendra, izinkanlah saya untuk menghisap lisongmu. II DIALOG. Bukan monolog. Spada! Kita masuk kepada konten sajak. Apa yang termakna pada tiap-tiap baris kata. Sajak protes ini mungkin benda mati, tapi tak menutup kemungkinan dapat bernafas dialogis. Ada subjek-objek yang bercakap-cakap walau diam. Ada kata-kata yang memberontak meski pantang berlarian. Baiklah, nyanyikan. Bait pertama introduksi. Sajak Sebatang Lisong bicara tentang situasi keadaan Negara kita yang tidak sebagaimana mestinya. Tapi belum diperjelas sampai palungnya. Hanya sebatas pengantar yang terdiorama singkat. Ada tiga kata kerja tanpa subjek yang disebut secara eksplisit menghisap, melihat dan mendengar. Siapa yang melakukan? Bisa ditebak. Kalau dicermati, yang menghisap Lisong adalah para petinggi kita yang membaca keadaan sebuah Negeri Menghisap sebatang lisong/ melihat Indonesia Raya/ mendengar 130 juta rakyat. Lalu ada kata cukong’ yang mewakili segala yang tidak beres korupsi, penyelewengan, tindak penindasan, atau praktek dehumanisasi haram yang lain; dua tiga cukong dengan sehina-hinanya, melakukan kesenangannya di atas kaum-kaum yang kecil’ mengangkang/ berak di atas kepala mereka. Bait kedua tentang waktu. Tergambar jelas di suasana pagi Matahari terbit/ fajar tiba. Barangkali penyair berangkat dari jejaknya memandang anak-anak yang seharusnya sekolah, malah bekerja paksa mengamen atau mengemis. Mungkin juga bekerja serabutan seperti buruh pendirian rumah yang tak layak, karena diupah semau gue. Atau yang paling buruk putus sekolah. Ah, nak. Seharusnya kau sedang duduk di bangku-bangku kayu. Dan mendengarkan pendidik memanusiakanmu di pagi yang hangat. Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak/ tanpa pendidikan. Bait ketiga sasaran pertanyaan. Aku bertanya/ tetapi pertanyaan-pertanyaanku/ membentur meja kekuasaan yang mecet. Penyair menekankan kalau sajaknya berisi pesan pertanyaan dari rakyat. Sasaran pertanyaan kiranya meliputi para wakil rakyat. Tapi para petinggi kita sungguh kolot tak acuh. Bahkan, Pahlawan Tanpa Tanda Jasa juga apatis terhadap beragam persoalan yang melanda bangsa. Ironi. Dan papantulis-papantulis para pendidik/ yang terlepas dari persoalan kehidupan. Bait keempat ratapan masa depan. Kita kembali dihadapkan pada makna yang sama di bait kedua anak-anak pekerja itu. Bagaimana penuturan Rendra menatap masa depan mereka. Dengan melihat pendidikan mereka yang terpuruk meninggalkan kelas-kelas di mana segudang ilmu terdapat di situ. Apa yang mereka lihat di masa depannya? Ah, bodoh. Pertanyaan yang tak pantas dijawab. Seharusnya, ratakanlah pendidikan. Bukan meratakan kasus suap yang selalu tersorot lampu jalanan. Delapan juta kanak-kanak/ menghadapi satu jalan panjang/ tanpa pilihan/ tanpa pepohonan/ tanpa dangau persinggahan/ tanpa ada bayangan ujungnya. Bait kelima penglihatan penyair, juga waktu. Kalau dilihat baik-baik, baris-barisnya persis seperti pada bait pertama. Modelnya satu ragam. Pemaknaannya tentang situasi kandungan bersih udara yang terlanjur berdegradasi kotor. Menghisap udara/ yang disemprot dedorant. Sepertinya, siang hari lebih banyak menyimpan debu dan asap yang jahat bagi paru-paru manusia. Dari sana, penyair kasihan menghirup beragam bau sampah jalanan; ibaratnya. Seperti mahasiswa yang terpaku pada dosen. Akibatnya, pikiran dipersempit cakupan ilmunya. Yang terjadi selanjutnya Fresh Graduate yang meratap kelulusan paksa; yang hanya ingin niat bergelar sarjana. Aku melihat sarjana-sarjana menganggur/ berpeluh di jalan raya. Selain mahasiswa, Rendra menempatkan orang-orang yang selalu ingin dibayar, tapi malas dalam kerjanya aku melihat wanita-wanita bunting/ antri uang pensiunan. Bait keenam yang melakukan. Merujuk kepada kisah di bait pertama kalau teknokrat sedang senyum-senyum santainya di langit dan cuek melihat kondisi rakyat yang buruk. Dan di langit/ para teknokrat berkata Bait ketujuh sindiran. Teknokrat bukan semata yang dielu-elukan kesalahannya, juga bangsa kita sendiri yang harusnya sadar. Sadar pada pernyataan kelam yang dicibir Rendra. Kalau bangsa kita masih awam pikirannya tak mau berbenah diri, lalu gaptek; atau tak mau melek soal perkembangan iptek. Diibaratkan guru-guru kita yang masih terjerat sistem pada pengajarannya. Mereka malas kreatif. Bahwa bangsa kita adalah malas/ bahwa bangsa mesti dibangun/ mesti diup-grade/ disesuaikan dengan teknologi yang diimpor. Bait kedelapan pencitraan. Sepertinya ini waktu saat kumpulan burung camar beterbangan. Gunung-gunung menjulang/ langit pesta warna di dalam senja kala. Pembaca sajak atau yang membacakan’ diajak mendangak ke atas lebih melotot kepada persoalan kita. Kondisi kekinian yang selalu melukai sejarah, kalau sejarah tahu. Ah, pahlawan kita selalu menangis acap kali perang terus didendangkan, padahal status adalah merdeka. Kita diajak lebih dekat. Lebih dekat dari langkah seorang wartawan. Sekali lagi. Dan aku melihat/ protes yang terpendam/ terhimpit di bawah tilam. Bait kesembilan pertanyaan kembali. Aku bertanya/ tetapi pertanyaanku. Menjauh dari wakil rakyat, kita melangkah ke lingkungan para seniman. Seorang Rendra yang seniman sastrawan ulung sekalipun, dengan beraninya menyindir penyair-penyair yang selalu bersyair tentang keindahan. Padahal keburukan sepatutnya baik untuk dicatat. Padahal di sekitar, beragam persoalan membuntutinya. Ah, Rendra ingin merobek pikirannya. Ah, bodohlah penyair yang masa bodoh itu membentur jidat penyair-penyair salon/ yang bersajak tentang anggur dan rembulan/ sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya. Serta dikorelasikan lagi dengan si pekerja cilik yang ditokohkan Rendra. Ah, mereka lagi. Yang selalu dibiarkan terlantar dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan/ termangu-mangu di kaki dewi kesenian. Bait kesepuluh harapan. Rendra nampak pesimis bunga-bunga bangsa tahun depan/ berkunang-kunang pandang matanya. Kita yang masih menatap masa depan, akan ke mana pada akhirnya? Itu yang dipersoalkan oleh Rendra. Kalau banyak berita kecewa di surat kabar, tak membuka kemungkinan bangsa akan maju. Apa yang mesti diharapkan? Yang belum terjawab adalah pekerjaan rumah bagi Negara, juga kita. Tuntunlah mereka untuk membalikkan peradaban yang usang. Mereka cikal-bakal nakhoda kapal kita Indonesia. Jangan sampai karam. Berjuta-juta harapan ibu dan bapak/ menjadi gebalau suara yang kacau/ menjadi karang di bawah muka samudra. Bait kesebelas sepenuhnya ingin membukakan otak-otak manusia yang dangkal. Pekalah! Bagi yang selalu akan menjadi buruh, bukan guru. Kita harus sadar, kalau kita masih tertidur di bawah pangkuan atasan. Kita mesti berhenti membeli rumus-rumus asing/ diktat-diktat hanya boleh memberi metode/ tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan/ kita mesti keluar ke jalan raya/ keluar ke desa-desa/ mencatat sendiri semua gejala/ dan menghayati persoalan yang nyata. Bait kedua belas menegaskan sajaknya. Inilah sajakku/ pamflet masa darurat. Sekali lagi, bukalah mata bagi yang apatis terhadap keadaan yang ganjil. Biar seniman yang hidup sebebas-bebasnya sekalipun. Seni tak berarti seni bila buta akan permasalahan. Apakah artinya kesenian/ bila terpisah dari derita lingkungan. Sekali lagi, pekalah! Apakah artinya berpikir/ bila terpisah dari masalah kehidupan. Bait ketiga belas yang ingin ditujukan oleh pertanyaan-pertanyaan lantang. Kepadamu aku bertanya. Setidaknya, semua harus paham akan jawaban yang hendak dijawab. Meski terlambat, karena kritik pedas sudah menjamur. III EPILOG. Bagi saya, sajak ini termasuk yang hebat di tahunnya. Posisi sajak protes Sajak Sebatang Lisong pada garis waktu puisi modern, barangkali menjatuhkan harga puisi sebelumnya yang bertahan di garis puisi lama. Rendra termasuk penyair yang ada di peralihan puisi lama dan puisi modern; sedikit catatan. Akhir kalam, tak usah berkelit bagi yang merasa dibicarakan. Dengarlah baik-baik kalau kita mesti hadap masalah. Kritik-oto-kritik yang harus selalu hidup. Dialogis. Kritiklah tentang gejala sosial, pendidikan, atau yang lain. Kasihan, jurnalis kita selalu kepayahan mencatat. Ah, itu memang tumpuan hidupnya. Biarkanlah begitu sebegitu adanya. Perlu diketahui juga, kalau Sajak Sebatang Lisong punya dua versi. Antara hilang-tidaknya baris semata wayang’ di bait terakhir. Entahlah, mengapa demikian. Sebelum akhir titik tertulis; semoga besar harap, kita selalu peka akan segala tindak dehumanisasi membelalakkan mata yang awas. Ditulis Ciracas, 19 Mei 2013 Mahasiswa Prodi Pendidikan Ekonomi Koperasi angkatan 2011 yang sok-sokan bicara tentang sastra. Sajak yang terpilih untuk dibacakan oleh penulis pada acara festival seni UNJ berikut serta memeriahkan Dies Natalies UNJ ke 49. Akan dibacakan pada Rabu, 22 Mei 2013.
Saya misalnya, selalu mengingat puisi WS Rendra "Sajak Sebatang Lisong". Puisi ini membongkar persepsi saya bahwa sastra adalah karya linuhung yang tak terjangkau dunia rendah manusia. mantra. Kebetulan saya manusia pemuja makna, dan mantra, seperti kata Goenawan Mohamad, tak berkaitan dengan makna tapi dengan tuah. Atau mungkin benar
Citraan, Diksi, dan Amanat dalam Puisi Sajak Sebatang Lisong Karya Rendra Puisi karya Rendra yang berjudul Sajak Sebatang Lisong ini menggunakan diksi yang tepat. Pilihan kata yang digunakan penyair untuk menggambarkan suasana hatinya cukup menarik dan dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Seperti parafrase dalam puisi Sajak Sebatang Lisong yang telah disampaikan sebelumnya, penggunaan diksi yang seperti itu sangat tepat sekali jika dikaitkan dengan latar historis puisi tersebut. Dikatakan tepat karena puisi yang ditulis dalam buku Potret Pembangunan dalam Puisi ini secara terang-terangan memperlihatkan kritik sosial. Oleh karena itulah penggunaan diksi tersebut sangat tepat karena diharapkan maksud penyair yang berisi sindiran/kritikan tersebut tersampaikkan dan dapat dengan mudah dicerna oleh pendengar, yaitu masyarakat, kalangan pendidik, seniman, dan pemerintah Indonesia. Pendekatan analitis digunakan manakala suatu puisi memiliki nilai dan persepsi tersendiri dalam setiap kata dalam puisinya. Walaupun penyair menggunakan diksi yang mudah dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dan dapat dengan mudah dipahami, namun memiliki makna yang sangat mendalam dan dapat mewakili perasaan/ isi hati penyair. Dalam potongan puisinya tersebut ia mengajak kalangan pendidikan untuk berhenti membeli rumus-rumus asing, yaitu sesuatu yang tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia dan yang benar ialah untuk menyelesaikan persoalan yang ada hendaknya terjun langsung mencari solusinya dengan menyesuaikan keadaan yang nyata. Citraan imagery yang terdapat dalam puisi Sajak Sebatang Lisong ini menggunakan 1 citra penglihatan visual imagery, 2 citra pendengaran auditory imagery, 3 citra perabaan tactile imagery, 4 citra penciuman olfactory imagery, 5 citra gerak, dan 6 citra perasaan. Gaya bahasa dan sarana retorika yang digunakan dalam puisi yang pernah dibacakan Rendra di Institut Teknologi Bandung, pada tanggal 17 Agustus 1977 ini adalah pleonasme. Pradopo 198795 menjelaskan pleonasme keterangan berulang ialah sarana retorika yang sepintas lalu seperti tautologi, tetapi kata yang kedua sebenarnya telah tersimpul dalam kata yang pertama. Sarana retorika yang terdapat dalam puisi ini dapat dibuktikan pada bait kedua, yakni //matahari terbit / fajar tiba//. Dalam hal ini penyair mengulang frasa matahari terbit dengan fajar tiba yang merupakan dua hal berbeda, namun sebenarnya sama. Frasa fajar tiba sudah tersimpul dalam frasa matahari terbit. Pengulangan yang seperti ini sengaja dibuat oleh penyair untuk memberikan kejelasan pada pembaca. Selanjutnya pada bait ketiga, penyair menggunakan gaya bahasa personifikasi, yaitu menghidupkan benda yang mati. Pertanyaan yang pada hakikatnya adalah benda mati, diibaratkan hidup sehingga membentur meja kekuasaan yang macet. Dalam puisi ini juga dijumpai majas hiperbola, yaitu majas yang melebih-lebihkan suatu hal atau keadaan. Dalam hal ini penyair ingin melebih-lebihkan, maksudnya untuk intensitas dan ekspresivitas. Dengan kata lain, penyair ingin memberikan mengungkapkan gambaran, maksud, gagasan, dan perasaan secara berlebih. Dalam puisi tersebut maksudnya ialah delapan juta anak yang tidak mengenyam pendidikan pada masa itu masa depannya akan suram, mereka tidak mempunyai bekal hidup, sehingga tidak ada pilihan lain selain keterpurukan. Dalam hal ini penyair menggambarkannya dengan jalan panjang tanpa pilihan, tanpa pepohonan gersang’, tanpa dangau persinggahan, dan tanpa ada bayangan ujungnya. Rima yang digunakan penyair dalam puisi ini adalah rima patah, karena penyair tidak begitu memerhatikan struktur rimanya. Rima patah yaitu persamaan bunyi yang tersusun tidak mementu pada akhir larik-lrik puisi. Kombinasi bunyi vokal asonansi puisi tersebut menambah unsur keindahan tersendiri. Pada puisi ini terdapat kombinasi bunyi vokal /a/ dan /u/ yang dominan dalam larik, yaitu //tanpa dangau persinggahan / tanpa ada bayangan ujungnya// dan // menjadi gemalau suara yang kacau//. Selain itu juga terdapat bunyi sengau /n/, /m/, /ng/, yaitu seperti tampak pada potongan bait berikut yang dapat menimbulkan bunyi merdu dan berirama efoni. Dalam puisi yang ditulis pada tahun 1973 ini, juga banyak dijumpai lambang, yaitu pengganti suatu hal dengan hal lain. Misalnya pada bait pertama, yaitu //menghisap sebatang lisong// yang melambangkan menikmati gaya hidup mewah dengan menghisap sebatang lisong. Kemudian pada baris selanjutnya yaitu, //dua tiga cukong mengangkang berak di atas kepala mereka// yang melambangkan orang-orang kaya pemilik modal bersenang-senang di atas penderitaan rakyat. Kemudian pada bait ketiga, yaitu // tetapi pertanyaan – pertanyaanku/ membentur meja kekuasaan yang macet//. Pada potongan bait ini melambangkan bahwa pertanyaan penyair sia-sia. Hal ini dikarenakan penyair tidak bisa berkomunikasi dengan manusia yang bertanggung jawab. Penyair hanya menemui sosok benda mati yang itu semua merupakan abstraksi dari kenyataan yang digambarkan penyair dengan meja kekuasaan yang macet tidak diberikan kebebasan menyuarakan pendapatnya. Selanjutnya, hal ini dipertegas lagi pada baris selanjutnya, yaitu // dan papantulis – papantulis para pendidik/ yang terlepas dari persoalan kehidupan//. Potongan bait ini melambangkan dunia pendidikan khususnya guru. Pada bait keempat yaitu //delapan juta kanak – kanak/ menghadapi satu jalan panjang/ tanpa pilihan/ tanpa pepohonan/ tanpa dangau persinggahan/ tanpa ada bayangan ujungnya//. Potongan bait ini melambangkan anak-anak yang tidak mengenyam pendidikan, masa depannya suram. Sedangkan pada bait kelima, yaitu //menghisap udara yang disemprot deodorant// melambangkan orang-orang kaya, yaitu deodorant dilambangkan sebagai tanda kemewahan kalangan tertentu yang bekasnya tercium di udara. Namun, hal ini juga dapat ditafsirkan sebagai polusi industri yang membuat keadaan alam terutama udara dipenuhi zat-zat berbahaya dari industri. Pada bait kedelapan baris pertama yaitu //gunung – gunung menjulang// melambangkan gedung-gedung tinggi pencakar langit. Baris berikutnya yaitu //protes – protes yang terpendam/ terhimpit di bawah tilam// melambangkan ketidak berdayaan masyarakat untuk menyuarakan pendapatnya dan akhirnya masyarakat memilih tidur daripada mendapat celaka. Hal ini dilambangkan dengan kata tilam yang bearti tempat tidur. Pada bait kesembilan baris kedua dan ketiga, yaitu //tetapi pertanyaanku/ membentur jidat penyair – penyair salon//. Hal ini melambangkan para sastrawan yang tidak peka terhadap keadaan sosial. Mereka hanya sibuk dengan sajak-sajak romantis yang dibuatnya, sehingga sastrawan-sastrawan tersebut dianggap penyair salon yaitu yang ditafsirkan sebagai penyair banci. Mereka hanya gemara berdandan retorika dengan kata “anggur dan rembulannya”. Tipografi puisi yang berjudul Sajak Sebatang Lisong ini adalah bentuk yang pada umumnya digunakan oleh penyair yaitu menggunakan rata kiri dan dimulai dengan huruf kecil semua, walaupun ditulis diawal kalimat. Oleh karena jumlah larik atau baris dalam puisi karya Rendra ini banyak, maka penyair juga menggunakan bait dalam puisinya. Puisi yang ditulis dalam buku Potret Pembangunan dalam Puisi ini bertemakan kritik sosial. Di tengah carut-marutnya negara Indonesia akan pendidikan, perekonomian, dan sistem birokrasi. Ia berbicara kritik sosial dengan menggunakan bahasa sastra yang sangat bagus dan mendalam jika ditelaah artinya. Sebagai seorang sastrawan ia merasa tergerak demi perubahan sosial, sehingga ia tak sungkan-sungkan untuk mengkritik ranah sosial dan politik dengan keahlian sastranya. Dalam sajaknya yang ditulis pada tahun 1973 inilah ia dengan lantang menyuarakan nasib anak-anak Indonesia yang tidak mengenyam pendidikan dan sarjana-sarjana yang menganggur, berpeluh di jalan raya. Sementara itu para penguasa/orang-orang kaya sama sekali tidak memperhatikan hal tersebut. Mereka malah asik dengan harta dan kekuasaanya. Sistem birokrasi juga tidak luput dari kritiknya. Tampilnya militer dalam puncak pemerintahan memberikan dampak tersendiri di Indonesia. Selain militer, pemerintah orde baru juga mempergunakan teknokrat sebagai tulang punggung pengatur perekonomian pada awal pemerintahannya. Militer menyadari tidak semua tugas negara dapat diemban seorang diri apalagi mengatur keuangan, pembangunan, dan perekonomian negara. Dalam sejarah Indonesia, keterlibatan teknokrat dan angkatan darat dalam arena percaturan politik melahirkan rezim yang absolut Nurjaya, Tanpa tahun55. Selain itu Rendra juga mengkritik sastrawan-sastrawan dan teman-teman seperjuangannya di dunia sastra. Ia merasa prihatin terhadap sastrawan yang sama sekali tidak peka akan keadaan yang terjadi di negaranya. Rendra secara tegas mengkritik sastrawan-sastrawan pada masa itu, yang terus-menerus menghasilkan karya yang bermutu rendah dan erotisme. Padahal sebagai seorang intelektual dengan bahasa sebagai sarana perjuangan sosial, sastrawan seharusnya ikut andil menjadi motor penggerak. Amanat yang terkandung dalam puisi ini adalah penyair ingin menyampaikan sekaligus mengajak pada masyarakat untuk keluar dari keterpurukan, baik dalam persoalan sosial, pendidikan, ekonomi, dan birokrasi. Sudah saatnya Indonesia keluar dari persoalan akut dengan membangun kemandirian dan tidak lagi bersandar/ mengandalkan pada kekuatan asing.
SajakHarianku Kejujuran Membuahkan Cinta yang Ranum Series Dua PENULIS: Alimato Rumbia ISBN: -6 Terbit : Juni 2020 Sinopsis: Cinta dan rindu adalah pupuk penyubur kasih sayang. Keduanya selalu menuntut pertemuan demi melanggengkan rasa yang tertanam di dasar hati. Orang yang dalam hatinya tertanam cinta,
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Minggu pagi baca-baca puisi karya penyair hebat sekelas Rendra sangat menarik dan terasa masih cukup relevan dengan keadaan sekarang. Misalnya ada kalimat "dua tiga cukong mengangkang" sy jd teringat Anggodo vs KPK........ Puisi ini ditulis tahun 1977, seperti kata orang bijak belajar dari masa lalu untuk masa depan lebih baik, semoga bermanfaat............... Sajak Sebatang Lisong – Rendra Menghisap sebatang lisong melihat Indonesia Raya, mendengar 130 juta rakyat, dan di langit dua tiga cukong mengangkang, berak di atas kepala mereka Matahari terbit. Fajar tiba. Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan. Aku bertanya, tetapi pertanyaan-pertanyaanku membentur meja kekuasaan yang macet, dan papantulis-papantulis para pendidik yang terlepas dari persoalan kehidupan. Delapan juta kanak-kanak menghadapi satu jalan panjang, tanpa pilihan, tanpa pepohonan, tanpa dangau persinggahan, tanpa ada bayangan ujungnya. ………………… Menghisap udara yang disemprot deodorant, aku melihat sarjana-sarjana menganggur berpeluh di jalan raya; aku melihat wanita bunting antri uang pensiun. Dan di langit; para tekhnokrat berkata bahwa bangsa kita adalah malas, bahwa bangsa mesti dibangun; mesti di-up-grade disesuaikan dengan teknologi yang diimpor Gunung-gunung menjulang. Langit pesta warna di dalam senjakala Dan aku melihat protes-protes yang terpendam, terhimpit di bawah tilam. Aku bertanya, tetapi pertanyaanku membentur jidat penyair-penyair salon, yang bersajak tentang anggur dan rembulan, sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan termangu-mangu di kaki dewi kesenian. Bunga-bunga bangsa tahun depan berkunang-kunang pandang matanya, di bawah iklan berlampu neon, Berjuta-juta harapan ibu dan bapak menjadi gemalau suara yang kacau, menjadi karang di bawah muka samodra. ……………… Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing. Diktat-diktat hanya boleh memberi metode, tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan. Kita mesti keluar ke jalan raya, keluar ke desa-desa, mencatat sendiri semua gejala, dan menghayati persoalan yang nyata. Inilah sajakku Pamplet masa darurat. Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan. 19 Agustus 1977 ITB Bandung Potret Pembangunan dalam Puisi Lihat Puisi Selengkapnya
SAJAKSEBATANG LISONG Oleh : W.S. Rendra Menghisap sebatang lisong melihat Indonesia Raya, mendengar 130 juta rakyat, da
Apresiasi Puisi Sajak Sebatang Lisong Karya Rendra Puisi yang berjudul sajak Sebatang Lisong ini merupakan puisi balada. Puisi balada ialah puisi yang bercerita tentang orang-orang perkasa atau tokoh pujaan atau orang yang menjadi pusat perhatian Herman, 2012 dalam Adzani, 2012. Puisi karya Rendra ini termasuk jenis puisi naratif dimana puisi ini mengungkapkan cerita atau penjelasan penyair. Dari puisi inilah Rendra mengungkapkan perasaannya. Puisi yang ditulis pada tahun 1973 dan terangkum dalam buku Potret Pembangunan dalam Puisi ini merupakan puisi yang secara gamblang mengkritik sosial. Rendra tanpa sungkan-sungkan lagi mengkritik. Dengan bahasa sastra ia berbicara, dengan bahasa sastra pula ia mengkritik pemerintahan, hingga ia dianggap berbahaya oleh rezim. Tidak heran kalau Rendra sering dicekal dan bahkan ditahan oleh pemerintah pada masa itu. Berikut pemaknaan puisi yang berjudul Sajak Sebatang Lisong. Pada bait pertama penulis menceritakan bahwa orang-orang kaya yang digambarkan sebagai cukong begitu menikmati gaya hidup yang mewah yang digambarkan dengan menghisap sebatang lisong. Sementara itu, jutaan rakyat menjerit meratapi kehidupannya sama sekali tidak mereka hiraukan. Bait kedua, penyair secara lantang menyuarakan nasib jutaan anak-anak yang tidak mengenyam pendidikan di masa itu. Padahal negara sudah merdeka dan pendidikan merupakan hak setiap anak. Hal ini digambarkan dengan //matahari terbit/ fajar tiba. Pada bait ketiga, penyair secara tegas ingin memprotes tentang keadaan yang terjadi di Indonesia, namun keinginan tersebut sia-sia, karena ia sebagai rakyat tidak diberikan hak untuk menyaurakan pendapatnya/mengutarakan isi hatinya. Hal ini digambarlkan dengan pertanyaan-pertanyaannya yang membentur meja kekuasaan yag macet. Selanjutnya penyair juga menyindir dunia pendidikan khususnya guru. Dalam puisi penyair tidak secara langsung menyebut guru karena konteks guru sudah menghilang dari birokrat yang harus disebut pendidik lembah pena, 2011. Pada bait keempat, penyair menyuarakan kembali nasib anak-anak yang tidak mengenyam pendidikan. Padahal anak adalah aset suatu bangsa, namun keadaannya pada masa itu malah tidak diperhatikan. Hal ini akan membuat hancurnya masa depan bangsa karena anak yang merupakan pewaris bangsa tidak diberikan bekal pendidikan yang cukup sehingga mereka tidak memiliki kemampuan untuk mengelolanya. Jangankan mengelola/mengatur bangsa, mengatur dirinya saja mereka belum tentu bisa karena masa depan yang sangat suram. Hal ini sesuai dengan potongan bait berikut // tanpa dangau persinggahan/ tanpa ada bayangan ujungnya. Bait kelima, penyair kembali lagi menyindir para penguasa negeri yaitu orang-orang kaya yang diistilahkan dengan cukong. Mereka tidak mempedulikan kegagalan pendidikan yang terjadi di negerinya. Banyak sarjana menjadi pengangguran, berpeluh di jalan raya. Bahkan mereka juga tidak mempedulikan keadaan ekonomi bangsanya yang digambarkan penyair dengan melihat wanita bunting antri uang pensiun. Bait keenam dan ketujuh, penyair menggambarkan bahwa teknokrat hanya bisa mencela tanpa bertindak apa-apa. Teknokrat yang berarti cendekia yang berkiprah dalam pemerintahan, sama halnya dengan cukong. Penyair menggambarkan bahwa teknokrat ditempatkan di langit. Mereka jauh dari ingar-bingar persoalan kehidupan nyata. Bangsa Indonesia sendiri yang salah karena mereka malas, tidak mau dibangun dan tidak mau menyesuaikan dengan teknologi asing. Pada bait kedelapan mengisahkan bahwa di zaman yang modern, gedung-gedung bertingkat bahkan pencakar langit sangat mudah dijumpai. Namun, itu semua hanya milik cukong-cukong dan masyarakat yang di bawah, tetaplah di bawah. Mereka tidak punya daya, bahkan untuk menyuarakan pendapatnya saja mereka tidak bisa. Karena masyarkat tidak diberi kebebasan untuk berpendapat. Hal ini membuat masyarakat menjadi putus asa dan mereka memilih tidur saja daripada mendapat celaka. Bait kesembilan penyair mengkritik para sastrawan dan teman-teman seperjuangannya. Ia merasa kecewa terhadap para sastrawan yang hanya terbius oleh sajak-sajak romantis yang dibuatnya. Padahal sebagai seorang intelektual dengan bahasa sebagai sarana perjuangan sosial, sastrawan seharusnya ikut andil menjadi motor penggerak.
KritikSastra Puisi "Sajak Sebatang Lisong" Karya W.S. Rendra Sebelum kita mengenal lebih dalam mengenai karyanya, lebih baik kita mengetahui lebih dulu tentang penulisnya, yaitu W.S Rendra. Dia merupakan seorang pujangga muda yang dimiliki oleh Indonesia yang lahir di Surakarta, 07 November 1935 dan pada usianya yang ke 74 tahunan dia
- Rendra atau yang dikenal dengan nama Willibrordus Surendra Broto Rendra merupakan seorang penyair ternama di Indonesia. Beberapa karyanya yang terkenal adalah puisi, cerpen cerita pendek, hingga skenario drama. Dalam dunia sastra, Rendra sangat berjasa dalam pengembangan sastra. Karya-karyanya tidak hanya dikenal di dalam negeri saja, melainkan juga di luar negeri. Salah satu contoh karya sastranya yang cukup terkenal adalah Puisi Sajak Sebatang dari buku Kumpulan Esai Apresiasi Puisi 2018 karya Indra Intisa, berikut isi puisi Sajak Sebatang Lisong, karya Rendra Menghisap sebatang lisongmelihat Indonesia Raya,mendengar 130 juta rakyat,dan di langitdua tiga cukong mengangkang,berak di atas kepala mereka Matahari aku melihat delapan juta kanak-kanaktanpa juga Puisi Sapardi Djoko Damono Aku bertanya,tetapi pertanyaan-pertanyaankumembentur meja kekuasaan yang macet,dan papantulis-papantulis para pendidikyang terlepas dari persoalan kehidupan. Delapan juta kanak-kanakmenghadapi satu jalan panjang,tanpa pilihan,tanpa pepohonan,tanpa dangau persinggahan,tanpa ada bayangan ujungnya. Menghisap udarayang disemprot deodorant,aku melihat sarjana-sarjana menganggurberpeluh di jalan raya;aku melihat wanita buntingantri uang pensiun. Dan di langit;para tekhnokrat berkata bahwa bangsa kita adalah malas,bahwa bangsa mesti dibangunmesti di-up-gradedisesuaikan dengan teknologi yang diimpor
SajakSebatang Lisong oleh WS Rendra. menghisap sebatang lisong. melihat Indonesia Raya. mendengar 130 juta rakyat. dan di langit. dua tiga cukung mengangkang. Dibawah ini, saya mencoba mendokumentasikan dan menayangkan ulang sejumlah puisi-puisi lama saya yang pernah di muat di suratkabar di Makassar, 17 tahun silam: IRAMA HATI Kususuri
Tipografipuisi yang berjudul sajak sebatang lisong ini adalah bentuk yang pada umumnya digunakan oleh penyair yaitu menggunakan rata kiri dan dimulai dengan huruf kecil semua, walaupun ditulis diawal kalimat. adalah " usaha menangkap makna dalam teks karya sastra di bentuk dari struktur yang bermakna dan di bangun dari sistem tanda
7NO6R. ecec0nvnep.pages.dev/50ecec0nvnep.pages.dev/174ecec0nvnep.pages.dev/101ecec0nvnep.pages.dev/284ecec0nvnep.pages.dev/354ecec0nvnep.pages.dev/81ecec0nvnep.pages.dev/304ecec0nvnep.pages.dev/48ecec0nvnep.pages.dev/212
makna puisi sajak sebatang lisong